Rabu, 16 Desember 2009

Rencana Pembangunan Masjidil Haram-Mekkah dan Mesjid An-Nabawi-Madinah












Insya Allah kalaulah rencana pembangunan Mesjidil-Haram-Mekkah dan Mesjid An-Nabawi Madinah terwujud maka kedua kota tersebut akan menjadi kota modern, dengan mengikuti miniatur bangunan eropa, tapi yang sangat penulis sayangkan, pembangunan tersebut jangan sampai menghilangkan situs-situs bersejarah disekeliling Ka'bah, misal Hajr Aswad, Hijr Ismail dan Maqom Ibrahim, sebelumnya sudah menghilang 4 Menara yang melambangkan Imam Mazhab, kemudian tempat Imam/Mihrab, dan Mimbar.Silahkan merombak Masjid An-Nabawi asal jangan menghancurkan Kubur Rasulullah dan Mimbar Rasulullah di Raudhah(cukup sudah mualla, Subaiqah dan Baqi diratakan dengan tanah, tanpa ada pengenal yang jelas makam sahabat atau isteri Rasulullah SAW............karena apabila ini terjadi apa lagi yang bisa kita ceritakan kepada anak cucu kita untuk mengenang sejarah tersebut..Allah Muwaffiq ila Aqwamit Thoriq.

Jumat, 11 Desember 2009

MANHAJ SALAFY AHLU SUNNAH WALJAMAAH

MENGENAL MANHAJ SALAFY DAN PEMAHAMAN AHLI SUNNAH WAL JAMAAH

A. Pengertian.
• Manhaj : Metode / cara / prinsip / jalan. Dalam konteks bahasan di atas, adalah jalan memahami Islam.
• Salafush Shalih : Para pendahulu yang shalih. Dalam konteks ini maksudnya adalah pendahulu ummat Islam, yaitu para sahabat Nabi serta generasi yang mengikuti mereka dan berjalan di atas manhaj mereka."Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi'in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.
• Manhaj Salaf : Metode memahami, mengamalkan dan mendakwahkan Islam seperti yang difahami, dimalkan dan didakwahkan oleh para sahabat nabi, para penerus mereka, dan para imam yang berada di atas sunnah dari zaman ke zaman.
• Salafi : Orang-orang yang berusaha (bukan mengklaim) mengikuti jejak para salaf, para sahabat dan salafush shalih. Dan sebaik-baik salaf adalah Nabi Muhammad shallallahu ' alaihi wa sallam.
• As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah.
• Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” . Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.”

B. Dalil-Dalil

Dalil-dalil dari Al-Qur’an :

1. Firman Allah subhanahu wa ta'ala :"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat."

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: "Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya?, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah (Syi'ah)."

Hal ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami agama ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian."

Allah telah menjadikan mereka orang-orang pilihan lagi adil, mereka adalah sebaik-baik ummat, paling adil dalam perkataan, perbuatan serta keinginan mereka, karena itu mereka berhak untuk menjadi saksi atas sekalian manusia, Allah mengangkat derajat mereka, memuji mereka serta menerima mereka dengan penerimaan yang baik.
Dengan ini jelaslah bahwasanya pemahaman para shahabat merupakan hujjah atas generasi setelah mereka dalam menjelaskan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah.


3. "Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus."

Para shahabat adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Allah, karena Allah adalah pelindung bagi siapa saja yang berpegang teguh kepada (agama)-Nya sebagaimana firman Allah: "Dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah pelindung kalian maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong."
Dan telah dimaklumi bahwasanya perlindungan dan pertolongan Allah kepada para shahabat sangat sempurna, hal tersebut menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian dari Allah.

4. "Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah."

Allah telah menetapkan atas mereka keutamaan atas sekalian ummat, hal tersebut karena keistiqamahan mereka pada segala hal, karena mereka tidak akan melenceng dari jalan yang lurus, Allah telah bersaksi atas mereka bahwasanya mereka menyuruh kepada setiap yang ma'ruf, mencegah dari setiap kemunkaran, berdasarkan hal tersebut merupakan suatu keharusan bahwasanya pemahaman mereka merupakan hujjah bagi generasi setelahnya hingga Allah menetapkan putusannya.

5. "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."

Berkata Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi: "Para 'ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi pertama dari ummat ini,?." Syaikhul Islam berkata: "Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin-red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran." .Maksud ayat tersebut, bahwasanya Allah mengancam siapa saja yang mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin (dengan neraka Jahannam), maka jelaslah bahwasanya mengikuti jalannya para shahabat dalam memahami syari'at Allah wajib hukumnya, sedangkan menyalahinya merupakan suatu kesesatan.

6. "Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar."

Makna dalil tersebut, bahwasanya Tuhan manusia memuji orang-orang yang mengikuti manusia terbaik, maka diketahui dari hal tersebut bahwasanya jika mereka mengatakan suatu pandangan kemudian diikuti oleh pengikutnya pantaslah pengikut tersebut untuk mendapatkan pujian dan ia berhak mendapatkan keridhaan, jika sekiranya mengikuti mereka tidak membedakan dengan selain mereka maka tidak pantas pujian dan keridhaan tersebut.

7."Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa."

Maka orang-orang bertaqwa secara keseluruhan berimam kepada mereka. Adapun taqwa merupakan kewajiban, di mana Allah dengan gamblang menyebutkannya dalam banyak ayat. Tidak memungkinkan untuk menyebutkannya di sini, maka jelaslah bahwa berimam kepada mereka wajib, adapun berpaling dari jalan mereka akan menyebabkan fitnah dan bencana.

8. "Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku."

Seluruh shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang kembali kepada Allah, maka Allah memberikan hidayah kepada mereka dengan perkataan yang baik, serta berbuat amal shalih.Maka merupakan suatu kewajiban untuk mengikuti manhaj para shahabat dalam memahami agama Allah baik yang ada dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah.

9. "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami."

Sifat-sifat yang disebutkan pada ayat tersebut di atas adalah berkenaan dengan sifat-sifat para shahabat Nabi Musa 'alaihis salam, Allah mengabarkan bahwasanya Dia menjadikan mereka sebagai imam yang diikuti oleh orang-orang sesudah mereka karena kesabaran dan keyakinan mereka, jika demikian kesabaran dan keyakinan merupakan jalan untuk menjadi Imam (pemimpin) dalam agama.

Dan sangat dimaklumi bahwasanya sahabat-sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut daripada ummat Nabi Musa, mereka lebih sempurna keyakinan dan kesabaran dari segenap ummat, maka mereka lebih berhak untuk menjadi imam dan ini merupakan hal yang paten berdasarkan persaksian dari Allah dan pujian Rasulullah atas mereka.

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah adalah sebagai berikut :

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah (generasi) pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian generasi berikutnya."

Allah telah melihat hati-hati para shahabat Rasulullah di mana Dia mendapatkannya sebaik-baik hati para hamba setelah hati Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Dia memberikan kepada mereka pemahaman yang tidak dapat dijangkau oleh generasi berikutnya, karena itulah apa yang dalam pandangan shahabat merupakan suatu kebaikan demikian pula dalam pandangan Allah dan apa yang dalam pandangan shahabat jelek, jelek pula dalam pandangan Allah.

2. Dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu berkata: "Kami melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah, lalu kami berkata: "Sekiranya kita tetap di sini hingga kita melaksanakan shalat 'isya bersama beliau", kemudian kami duduk, lalu beliau mendatangi kami seraya berkata: "Kalian masih tetap di sini?" kami berkata: "Ya Rasulullah, kami shalat bersama Engkau, kemudian kami berpendapat: kita duduk di sini hingga melaksanakan shalat 'isya bersama Engkau." Beliau berkata: "Ya". Abu Musa berkata: "Kemudian beliau mengangkat kepalanya ke langit dan beliau sering melakukan hal tersebut, lalu beliau bersabda: "Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang-bintang telah redup, diberikan kepada langit persoalannya dan Aku adalah penjaga bagi shahabat-shahabatku, jika aku telah tiada maka persoalan akan diserahkan kepada shahabat-shahabatku, dan shahabat-shahabatku adalah penjaga ummatku, jika shahabat-shahabatku telah tiada maka persoalan diserahkan kepada ummatku".

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfaq dengan emas sebesar gunung uhud, tidak dapat menyamai (pahala) satu mud infaq mereka, tidak pula setengahnya."

4. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham?"

5. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Terus-menerus ada sekelompok kecil dari ummatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu."

6. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "?Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya: "Siapa dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya)."

Sedangkan ucapan para 'ulama akan wajibnya berpegang dengan manhaj salaf adalah:
Al-Imam Al-Auza'i berkata: "Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah)."

Al-Imam As-Sam'ani berkata: "Syi'ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj as-salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama)."

Al-Imam Al-Ashbahani berkata: "Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi'in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya."

Al-Imam Asy-Syathibi berkata: "Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah kesesatan."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.". Beliau juga berkata: "Bahkan syi'ar ahlul bid'ah adalah meninggalkan manhaj salaf."

B. Latar Belakang
Berkembangnya dakwah Salafiyah di kalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Akan tetapi di sisi lain, orang-orang menyimpan dalam benak mereka persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian Salafiyah itu sendiri sehingga bisa menimbulkan kebingungan bagi orang-orang yang mengamatinya, maka untuk itu dibutuhkan penjelasan yang jelas tentang hakikat Salafiyah itu.
Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Sayangnya, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga.Dikatakan dalam sebuah sya'ir, “Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar Sebabnya karena pemahaman yang buruk”.

C. Analisis
Di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.”. Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.”
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ’salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, kita bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab? Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…”
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” . Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.” Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.”
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…”
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia).”
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…”
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.”
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar. Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya. Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” . Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum . Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” .
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” . Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” . Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…”
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ’salaf’
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya. Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.”
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf).
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah . Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanya firqah-firqah yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.”














Al-Maraji’ Al-Kutub

Al Albani, Asy-Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilali, Limadza Ikhtartu Manhaj Salaf
Al-Islam, Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Ahlus Sunnah wal Jamaah Ma’alimul Inthilaqah al-Kubra .Jakarta;Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Al Jizani, Syaikh Muhammad bin Husain, Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Az Zabidi, Muhammad bin Muhammad al Husni. lkhtihaf Sadatul Muttaqin, (syarah), “lhya Ulummuddin” Imam Ghazali.
Ba’Alawi, Mufti Syaikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, 138 H. Bugyatul Mustarsyidin, Kairo; Mathba’ah Amin abdul Majid.
Nashr, Muhammad Musa.Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani
Syamhudi,Kholid.(Trans) Mengapa Memilih Manhaj Salaf .Pustaka Imam Bukhari














DAFTAR BEBERAPA NEGARA YANG MEMEGANG TEGUH AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
1. Di Maroko Madzhab Maliki/Ahlussunnah wal Jama.ah.
2. Di Aljazair Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
3. Di Tunisia Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
4. Di Libya Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
5. Di Turki Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
6. Di Mesir Madzhab Hanafi dan Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
7. Di Iraq Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah dan sebagian kecil Syi’ah (Najaf - Karabela).
8. Di India Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
9. Di Pakistan Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jamaah dan sebagian kecil Syi’ah Isma’iliyah (Agha Khan).
10. Di Indonesia Madzhab Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
11. Di Pilipina Madzhab Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
12. Di Thailand Madzhab Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
13. Di Malaysia Madzhab Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
14. Di Somali Madzhab Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
15. Di Sudan Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
16. Di Negeria Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
17. Di Afganistan Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.
18. Di Libanon Madzhab Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagian Syi’ah.
19. Di Hadharamaut Madzhab Syafi’i/Ahlussunnah wal Jama’ah.
20. Di Hijaz Madzhab Syafi’i dan Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah dan sedikit Hanbali/Wahabiyah.
21. Di Nejdi Madzhab Hanbali/Wahabiyah.
22. Di Yaman Madzhab Zaidiyah (Syi’ah), sebagian Syafi’iyah/Ahlussunnah wal Ja-ma’ah..
23. Di Iran Syi’ah Dua Belas.
24. Di seluruh daerah Sovyet 90% dari 24.000.000 Muslim adalah Ahlussunnah wal Jama’ah/Hanafi, 10% Syi’ah.
25. Di Tiongkok, Hanafi/Ahlussunnah wal Jama’ah.







DAFTAR JUMLAH ALIRAN DALAM ISLAM
1. Kaum Syi’ah 22 aliran.
2. Kaum Khawarij 20 aliran.
3. Kaum Mu’tazailah 20 aliran.
4. Kaum Murjiah 5 aliran.
5. Kaum Najariah 3 aliran..
6. Kaum Jabariah 1 aliran.
7. Kaum Musyabihah 1 aliran.
Jumlah 72 aliran.
Kalau ditambah dengan 1 aliran lagi dengan paham kaum Ahlussunnah wat Jama’ah maka cukuplah menjadi 73 firqah, sebagai yang diterangkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi..

Wallahu Waliyyut Taufiq Wa’alamu Bimuradih bizalik